ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS TUNA DAKSA
A. Pengertian Anak
Tuna Daksa
Anak tuna daksa adalah anak yang mempunyai kelainan ortopedik
atau salah satu bentuk berupa gangguan dari fungsi normal pada tulang, otot,
dan persendian yang mungkin karena bawaan sejak lahir, penyakit atau
kecelakaan, sehingga apabila mau bergerak atau berjalan memerlukan alat bantu.
Didalam Wikipedia, pengertian Tunadaksa adalah individu yang
memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan
struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk
celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa
adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap
masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan
motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki
keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan
fisik.
B. Karakteristik
dan Permasalahan yang dihadapi Anak Tuna Daksa
Banyak jenis dan variasi anak tuna daksa, sehingga untuk
mengidentifikasi karakteristiknya diperlukan pembahasan yang sangat luas.
Berdasarkan berbagai sumber ditemukan beberapa karakteristik umum bagi anak
tuna daksa, diantara lain sebagai berikut :
Karakteristik Kepribadian
Mereka yang cacat sejak lahir tidak pernah memperoleh
pengalaman, yang demikian ini tidak menimbulkan frustasi.
Tidak ada hubungan antara pribadi yang tertutup dengan
lamanya kelainan fisik yang diderita.
Adanya kelainan fisik tidak memperngaruhi kepribadian atau
ketidak mampuan individu dalam menyesuaikan diri.
Anak cerebal-pakcy dan polio cenderung memiliki rasa takut
daripada yang mengalami sakit jantung.
Karakteristik Emosi-sosial
Kegiatan-kegiatan jasmani yang tidak dapat dijangkau oleh
anak tuna daksa dapat berakibat timbulnya problem emosi, perasaan dan dapat
menimbulkanfrustasi yang berat.
Keadaan tersebut dapat berakibat fatal, yaitu mereka
menyingkirkan diri dari keramaian.
Anak tuna daksa cenderung acuh bila dikumpulkan bersama
anak-anak normal dalam suatu permainan.
Akibat kecacatanya mereka dapat mengalami keterbatasan dalam
berkomunikasi dengan lingkunganya.
Karakteristik Intelegensi
Tidak ada hubungan antara tingkat kecerdasan dan kecacatan,
tapi ada beberapa kecenderungan adanya
penurunan sedemikian rupa kecerdasan individu bila kecacatanya meningkat.
Hasil penelitian ternyata IQ anak tuna daksa rata-rata
normal.
Karakteristik Fisik
Selain memiliki kecacatan tubuh, ada kecenderungan mengalami
gangguan-gangguan lain, misalnya: sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran,
penglihatan, gangguan bicara dan sebagainya.
Kemampuan motorik terbatas dan ini dapat dikembangkan sampai
pada batas-batas tertentu.
Adanya berbagai karakteristik tersebut bukan berarti bahwa
setiap anak tuna daksa memiliki semua karakteristik yang diungkapkan, namun
bisa saja terjadi salah satunya tidak dimiliki.
Dari karakteristik tersebut menimbulkan dampak positif maupun
dampak negatif. Dari dampak negatif timbul masalah-masalah yang muncul yang
berkaitan dengan posisi siswa disekolah. Permasalahan tersebut dapat
digolongkan menjadi beberapa masalah, yaitu:
Masalah kesulitan belajar
Terjadinya kelainan pada otak ,sehingga fungsi fikirnya
terganggu persepsi. Apalagi bagi anak tuna daksa yang disertai dengan
cacat-cacat lainya dapat menimbulkan komplikasi yang secara otomatis dapat
berpengaruh terhadap kemampuan menyerap materi yang diberikan.
Masalah sosialisasi
Anak tuna daksa mengalami berbagai kesulitan dan hambatan
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal ini dapat terjadi karena
kelainan jasmani, sehingga mereka tidak diterima oleh teman-temannya,
diisilasi, dihina, dibenci, dan bahkan tidak disukai sama sekali kehadiranya
dan sebagainya.
Masalah kepribadian
Masalah kepribadian dapat berwujud kurangnya ketahanan diri
bahkan tidak adanya kepercayaan diri, mudah tersinggung dan sebagainya.
Masalah ketrampilan dan pekerjaan
Anak tuna daksa memiliki kemampuan fisik yang terbatas, namun
di lain pihak bagi mereka yang memiliki kecerdasan yang normal ataupun yang kurang
perlu adanya pembinaan diri sehingga hidupnya tidak sepenuhnya menggantungkan
diri pada orang lain. Karena itu dengan modal kemampuan yang dimilikinya perlu
diberikan kesempatan yang sebanyak-banyaknya untuk dapat mengembangkan lewat
latihan ketrampilan dan kerja yang sesuai dengan potensinya, sehingga setelah
selesai masa pendidikan mereka dapat menghidupi dirinya, tidak selalu
mengharapkan pertolongan oranglain. Di lain pihak dianggap perlu sekali adanya
kerja sama yang baik dengan perusahaan baik negeri maupun swasta untuk dapat
menampung mereka.
Masalah latihan gerak
Kondisi anak tuna daksa yang sebagian besar mengalami
gangguan dalam gerak. Agar kelainanya itu tidak semakin parah dan dengan
harapan supaya kondisi fungsional dapat pulih ke posisi semula, dianggap perlu
adanya latihan yang sistematis dan berlanjut.misalnya terapi-fisik
(fisio-therapy), terapi-tari (dance-therapy), terapi-bermain (play-therapy),
dan terapi-okupasional (occupotional-therapy).
C. Klasifikasi Anak Tuna Daksa
Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa, pada dasarnya
kelainan pada anak tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar,
yaitu (1) kelainan pada sistem serebral ( Cerebral System), dan (2) kelainan
pada sistem otot dan rangka ( Musculus Skeletal System)
1. Kelainan pada sistem serebral ( cerebral system disorders)
Penggolongan anak tuna daksa ke dalam kelainan sistem
serebral ( cerebral) didasarkan pada letak penyebab kelahiran yang terletak di
dalam sistem syaraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Kerusakan pada
sistem syaraf pusat mengakibatkan bentuk kelainan yang krusial karena otak dan
sumsum tulang belakang merupakan pusat dari aktivitas hidup manusia. Di
dalamnya terdapat pusat kesadaran, pusat ide, pusat kecerdasan, pusat motorik,
pusat sensoris dan lain sebagainya. Kelompok kerusakan bagian otak ini disebut
Cerebral Palsy (CP). Cerebral Palsy dapat diklasifikasikan menurut:
a. Penggolongan menurut derajat kecacatan
Menurut
derajat kecacatan, cerebal palsy dapat digolongkan atas: golongan ringan,
golongan sedang, dan golongan berat.
• Golongan ringan adalah mereka yang dapat berjalan tanpa
menggunakan alat, berbicara tegas, dapat menolong dirinya sendiri dalam
kehidupan sehari-hari. Mereka dapat hidup bersama-sama (dalam hal ini mengikuti
aktivitas sehari-hari) anak normal lainnya. Kelainan yang dimiliki oleh
kelompok ini tidak mengganggu kehidupan dan pendidikannya.
• Golongan sedang adalah mereka yang membutuhkan treatment
atau latihan khusus untuk bicara, berjalan, dan mengurus dirinya sendiri. Golongan ini memerlukan alat-alat khusus
untuk membantu gerakannya, seperti brace untuk membantu penyangga kaki, kruk
atau tongkat sebagai penopang dalam berjalan. Dengan pertolongan secara khusus,
anak-anak kelompok ini diharapkan dapat mengurus dirinya sendiri.
• Golongan berat adalah mereka yang memiliki cerebral palsy.
Golongan ini yang tetap membutuhkan perawatan dalam ambulansi, bicara, dan
menolong dirinya sendiri. Mereka tidak dapat hidup mandiri di tengah-tengah
masyarakat.
b. Penggolongan
menurut topografi
Dilihat dari topografi yaitu banyaknya anggota tubuh yang
lumpuh, Cerebral Palsy dapat digolongkan menjadi enam golongan, yaitu:
• Monoplegia
Hanya satu anggota gerak yang lumpuh, misalnya kaki kiri.
Sedangkan kaki kanan dan kedua tangannya normal.
• Hemiplegia
Lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada sisi yang sama,
misalnya tangan kanan dan kaki kanan, atau tangan kiri dan
kaki kiri.
• Paraplegia
Lumpuh pada kedua tungkai kakinya.
• Diplegia
Lumpuh kedua tangan kanan dan kiri atau kedua kaki kanan dan
kiri
(paraplegia).
• Triplegia
Tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya tangan
kanan dan
kedua kakinya lumpuh, atau tangan kiri dan kedua kakinya
lumpuh.
• Quadriplegia
Anak jenis ini mengalami kelumpuhan seluruhnya anggota
geraknya. Mereka cacat pada kedua tangan dan kedua kakinya,
quadriplegia disebutnya juga tetraplegia.
c. Penggolongan menurut fisiologi
Dilihat
dari fisiologi, yaitu segi gerak, letak kelainan terdapat di
otak dan fungsi geraknya (motorik), maka anak Cerebral Palsy
dibedakan atas:
• Spastik
Tipe spastik ini ditandai dengan adanya gejala kekejangan
atau kekakuan pada sebagian ataupun seluruh otot. Kekakuan itu timbul ketika
akan bergerak sesuai dengan kehendak. Dalam keadaan ketergantungan emosional,
kekakuan atau kekejangan itu akan makin bertambah, sebaliknya dalam keadaan
tenang, gejala itu menjadi berkurang. Pada umumnya, anak CP jenis spastik ini
memiliki tingkat kecerdasan yang tidak terlalu rendah. Di antara mereka ada
yang normal bahkan ada yang di atas normal.
• Athetoid
Pada tipe ini tidak terdapat kekejangan atau kekakuan.
Otot-ototnya dapat digerakkan dengan mudah. Ciri khas tipe ini terdapat pada
sistem gerakan. Hampir semua gerakan terjadi di luar kontrol dan koordinasi
gerak.
• Ataxia
Ciri khas tipe ini adalah seperti kehilangan keseimbangan.
Kekakuan hanya dapat terlihat dengan jelas saat berdiri atau berjalan. Gangguan
utama pada tipe ini terletak pada sistem koordinasi dan pusat keseimbangan pada
otak. Akibatnya, anak tipe ini mengalami gangguan dalam hal koordinasi ruang
dan ukuran. Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah pada saat makan
mulut terkatup terlebih dahulu sebelum sendok berisi makanan sampai ujung
mulut.
• Tremor
Gejala yang tampak jelas pada tipe tremor adalah
gerakan-gerakan kecil dan terus menerus berlangsung sehingga tampak seperti
bentuk getaran-getaran. Gerakan itu dapat terjadi pada kepala, mata, tungkai,
dan bibir.
• Rigid
Pada tipe ini dapat dijumpai kekakuan otot – tidak seperti pada
tipe spastik – di mana gerakannya tampak tidak ada keluwesan.
• Tipe campuran
Anak pada tipe ini menunjukkan dua ataupun lebih jenis gejala
CP sehingga akibatnya lebih berat bila dibandingkan dengan anak yang hanya
memiliki satu tipe CP.
2. Kelainan pada sistem otot dan rangka ( musculus scelatel
system)
Penggolongan anak tuna daksa ke dalam kelompok sistem otot
dan rangka didasarkan pada letak penyebab kelainan anggota tubuh yang mengalami
kelainan yaitu: kaki, tangan dan sendi, dan tulang belakang. Jenis-jenis
kelainan sistem otak dan rangka antara lain meliputi
a. Poliomylitis
Penderita polio ini mengalami kelumpuhan otot sehingga otot
akan mengecil dan tenaganya melemah. Peradangan akibat virus polio ini
menyerang sumsum tulang belakang pada anak usia dua tahun sampai enam tahun.
b. Muscle Dystrophy
Anak mengalami kelumpuhan pada fungsi otot. Kelumpuhan pada
penderita muscle dystrophy sifatnya progresif, semakin hari semakin parah.
Kondisi kelumpuhannya bersifat simetris, yaitu pada kedua tangan saja atau
kedua kaki saja, atau pada kedua tangan dan kaki. Penyebab terjadinya muscle
distrophy belum diketahui secara pasti. Gejala anak menderita muscle dystrophy
baru kelihatan setelah anak berusia tiga tahun, yaitu gerakan-gerakan yang
lambat, di mana semakin hari keadaannya semakin mundur. Selain itu, jika
berjalan sering terjatuh. Hal ini kemudian mengakibatkan anak tidak mampu
berdiri dengan kedua kakinya dan harus duduk di atas kursi roda
D. Penyebab Tuna
Daksa
Ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan
pada anak sehingga menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak di
jaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, serta pada sistem musculus
skeletal. Terdapat keragaman jenis tunadaksa, dan masing-masing timbulnya kerusakan
berbeda-beda. Dilihat dari waktu terjadinya, kerusakan otak dapat terjadi pada
masa sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.
1. Sebelum lahir (fase prenatal)
Kerusakan terjadi pada saat bayi saat masih dalam kandungan
disebabkan:
a. Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung
sehingga menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya.
b. Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu,
tali pusar tertekan, sehingga merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak.
c. Bayi dalam kandungan terkena radiasi yang langsung
mempengaruhi sistem syarat pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.
d. Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma yang dapat
mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem syaraf pusat. Misalnya, ibu jatuh
dan perutnya terbentur dengan cukup keras dan secara kebetulan mengganggu
kepala bayi, maka dapat merusak sistem syaraf pusat.
2. Saat kelahiran (fase natal/perinatal)
Hal-hal
yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan antara
lain:
a. Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang
yang kecil pada ibu sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen. Hal ini
kemudian menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam otak bayi sehingga
jaringan syaraf pusat mengalami kerusakan.
b. Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran
yang mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf otak pada bayi.
c. Pemakaian anestesi yang melebihi ketentuan. Ibu yang
melahirkan karena operasi dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat
mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi sehingga otak mengalami kelainan
struktur ataupun fungsinya.
3. Setelah proses kelahiran (fase post natal)
Fase setelah kelahiran adalah masa di mana bayi mulai
dilahirkan sampai masa perkembangan otak dianggap selesai, yaitu pada usia lima
tahun. Hal-hal yang dapat menyebabkan kecacatan setelah bayi lahir adalah:
a. Kecelakaan/trauma kepala, amputasi.
b. Infeksi penyakit yang menyerang otak.
E. Perkembangan
Kognitif Anak Tuna Daksa
Proses perkembangan kognitif banyak ditentukan dari
pengalaman-pengalaman individu sebagai hasil belajar. Proses perkembangan
kognitif akan berjalan dengan baik apabila ada dukungan atau dorongan dari
lingkungan. Seperti dikatakan Piaget bahwa setiap individu memiliki struktur
kognitif dasar yang disebut schema (misalnya kemampuan untuk melakukan gerakan
refleks, seperti menghisap, merangkak, dan gerakan refleks lainnya).schema ini
akan berkembang melalui belajar. Proses adaptasi yang didahulukan dengan adanya
persepsi.
Anak tuna daksa yang mengalami kerusakan alat tubuh, tidak
ada masalah secara fisiologis dalam struktur kognitifnya. Masalah terjadi
ketika anak tuna daksa mengalami hambatan dan mobilitas. Anak mengalami
hambatan dalam melakukan dan mengembangkan gerakan-gerakan, sehingga sedikit
banyak masalah ini mengakibatkan hambatan dalam perkembangan struktur kognitif anak tuna daksa. Dalam pengukuran
intelegensi pada anak tuna daksa, sering ditemukan angka intelegensi yang cukup
tinggi. Namun potensi kognitif yang cukup tinggi pada anak-anak tuna daksa ini
belum dapat difungsikan secara optimal. Hambatan mobilitas, masalah emosi,
kepribadian akan mempengaruhi anak tuna daksa dalam melakukan eksplorasi
keluar.
F. Perkembangan
Sosial, Emosi, dan Kepribadian Anak Tuna Daksa
Perkembangan Sosial Anak Tuna Daksa
Faktor utama terjadinya hambatan sosial ini bersumber pada
sikap keluarga, teman-teman dan masyarakat. Ahmad Toha Muslim dan Sugiarmin
(1996) menjelaskan bahwa sikap, perhatian keluarga dan lingkungan terhadap anak
tuna daksa dapat mendorong yang bersangkutan untuk meningkatkan kemampuan
bersosialisasi. Sebaiknya sikap-sikap positif yang ditunjukkan orang tua maupun
teman-temannya akan lebih membantu anak dalam penerimaan diri terhadap
kenyataan yang dihadapi, sehingga masalah-masalah perkembangan sosial dapat
diatasi.
Perkembangan Emosi Anak Tuna Daksa
Ketunaan yang ada pada anak tuna daksa secara khusus tidak
akan menghambat dalam perkembangan emosi pada anak tuna daksa. Hambatan ini
dialami setelah anak mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Seringnya
ditolak, seringnya mengalami kegagalan ditambah lingkungan orangtua yang tidak
menguntungkan, menyebabkan anak tuna daksa sering nampak muram, sedih dan
jarang menampakkan rasa senang.
Perkembangan Kepribadian Anak Tuna Daksa
Perkembangan kepribadian anak banyak ditemukan oleh
pengalaman usia dini, keadaan fisik, kesehatan, pemberian cap dari orang lain,
intelegensi, pola asuh orangtua dan sikap masyarakat. Pada usia dini anak tuna
daksa mengalami gangguan dalam fungsi mobilitas, gangguan pada waktu merangkak,
berguling, berdiri dan berjalan. Kondisi ini apabila didukung dengan sikap yang
negative dari keluarga maupun masyarakat akan menjadikan pengalaman di usia
dini yang sangat menyakitkan, dan dapat menjadikan pengalaman-pengalaman yang
traumatis pada anak. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tin Suharmini (1988)
dengan menggunakan tes grafis, ternyata ditemukan sebagian sebagian besar anak
tuna daksa mempunyai perasaan yang rendah diri (minder), kurang percaya diri,
kemasakan sosialnya kurang, emosional, menentang lingkungan, tertutup,
mengalami kekecewaan hidup, dan kompensensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar