PENDAHULUAN
Secara astronomis, Filipina terletak antara 6°LU – 19°LU dan 116°BT – 126°BT. Berdasarkan letak geografisnya, negara Filipina berbatasan dengan Samudra Pasifik di sebelah utara dan timur, berbatasan dengan Laut Cina Selatan di sebelah barat, dan berbatasan dengan Laut Sulawesi di sebelah selatan. Filipina merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri atas 7.107 pulau. Di antara jumlah pulau tersebut terdapat dua pulau yang besar yaitu Pulau Luzon (sebelah utara) dan Pulau Mindanau (sebelah selatan). Filipina adalah negara paling maju di Benua Asia setelah Perang Dunia II, namun sejak saat itu telah tertinggal di belakang negara-negara lain akibat pertumbuhan ekonomi yang lemah, penyitaan kekayaan yang dilakukan pemerintah, korupsi yang luas, dan pengaruh-pengaruh neo-kolonial.
Membahas mengenai identitas masyarakat Filipina, tidak dapat dipisahkan dari keberagaman masyarakatnya, yang terdiri dari berbagai macam jenis ras, etnis, agama dan suku yang didominasi oleh Melayu, Cina, Mestizo serta pribumi yang tersebar secara tidak merata. Sebelum orang-orang Spanyol datang pada abad ke-16, di Filipina berdiri kerajaan-kerajaan kecil yang bercorak animisme yang terpengaruh sedikit kultur India dan yang bercorak Islam di bagian selatan kepulauan. Kerajaan-kerajaan muslim ini mendapat pengaruh kuat dari Kerajaan Malaka. Keberagaman identitas masyarakat Filipina tidak dapat dipisahkan dari sejarah yang membentuknya. Sejarah mempengaruhi bagaimana stabilitas, persatuan, dan keamanan Filipina yang tidak terlepas dari kolonialisme yang dilakukan Spanyol dan Amerika Serikat serta penjajahan yang dilakukan oleh Jepang.
Sepanjang masa 265 tahun, Filipina merupakan koloni Kerajaan Spanyol (1565-1821) dan selama 77 tahun berikutnya diangkat menjadi provinsi Spanyol (1821-1898). Negara ini mendapat nama Filipina setelah diperintah oleh penguasa Spanyol, Raja Felipe II. Setelah Perang Spanyol-Amerika pada tahun 1898, Filipina diperintah Amerika Serikat. Filipina kemudian menjadi sebuah persemakmuran di bawah Amerika Serikat sejak tahun 1935. Periode Persemakmuran dipotong Perang Dunia II saat Filipina berada di bawah pendudukan Jepang. Filipina akhirnya memperoleh kemerdekaannya (de facto) pada 4 Juli 1946. Masa-masa penjajahan asing ini sangat memengaruhi kebudayaan dan masyarakat Filipina. Negara ini dikenal mempunyai Gereja Katolik Roma yang kuat dan merupakan salah satu dari dua negara yang didominasi umat Katolik di Asia selain Timor Leste.
Berdasarkan pengalaman kolonialisme oleh bangsa Barat, Filipina merupakan negara di Asia Tenggara yang sangat dekat dengan Amerika Serikat, bahkan secara superfisial Filipina merupakan negara yang paling terlihat akulturasi budaya bangsa Malaya dengan bangsa Barat dimana westernisasi dapat terlihat jelas dari penamaan masyarakat asli Filipina sangat melekat dengan bahasa Spanyol, sedangkan upacara adat pernikahannya merupakan akulturasi dari budaya bangsa Amerika Serikat. Kehadiran bangsa Spanyol juga telah memperkenalkan sistem encomienda. Sejak tahun 1589 bangsa Spanyol memungut upeti tahunan kepada setiap pria dewasa yang berusia antara 18-60 tahun. Sistem ini telah meninggalkan luka yang dalam bagi sejarah Filipina. Spanyol seolah-olah menari-nari diatas tangisan para buruh tebu yang menderita. Lalu Apa maksud dan tujuan Spanyol memberlakukan sistem encomienda? bagaimana pengaruh bagi Filipina akibat sistem ini? Berikut akan dipaparkan untuk mengetahui bagaimana sistem encomienda Spanyol di Filipina.
PEMBAHASAN
Sejak dahulu hingga sekarang, peran seorang buruh seringkali dikesampingkan dan dianggap tidak penting. Padahal, jika dilihat dari nilai historisnya buruh memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembangunan perekonomian negara khususnya di sektor industri. Tanpa buruh, tidak mungkin proses produksi bisa berjalan dan menghasilkan devisa atau keuntungan bagi negara. Hal itu yang sangat disayangkan, pengabdian mereka selama ini tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan. Pada zaman kolonialisme kehadiran mereka sangat dibutuhkan untuk dipekerjakan diperkebunan-perkebunan milik asing, namun sangat tidak diperhatikan kehidupan dan kesejahteraannya. Buruh sebagai pekerja kasar diperlakukan sewenang-wenang, hak-hak mereka tidak dipenuhi. Kemiskinan, kelaparan dan kematian sangat dekat dengan kehidupan mereka. Kelas sosial yang ada di masyarakat saat itu terdiri dari orang-orang Spanyol, para pejabat dan kaum buruh. Perbedaan kelas ini mengakibatkan perbedaan hak dan kewajiban mereka, yang nantinya berdampak pada segi kehidupan sosialnya di masyarakat.
Cultuur Stelsel atau kewajiban tanam paksa menanam kopi yang di Indonesia modern dikenal sebagai sistem yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830-1833), terlebih dahulu diterapkan kerajaan Spanyol di Kepulauan Filipina dan Serikat Dagang Hindia Timur Inggris (East India Company) di pesisir barat Sumatera sekitar Bengkulu. Bangsa Inggris memperkenalkan tanam paksa di Bengkulu dengan mewajibkan menanam komoditas unggulan untuk dieksor ke Eropa, yaitu lada. Sedangkan yang paling awal mengenalkan sistem tersebut adalah kerajaan Spanyol. Saat di Kepulauan Filipina, mereka menjalankan sistem encomienda yang menyediakan buruh lepas dan upeti bagi bangsa kolonial. Dari pengumpulan upeti ini, ternyata banyak yang menjadi kaya karena memeras rakyatnya. Penerima encomienda, yaitu encomendero menarik pajak dari orang Filipina. Para encomendero ini sejak dahulu secara de jure dan de facto menguasai tanah dan pemerintahan di daerah Filipina. Kemudian dari encomendero ini tumbuh golongan menengah yang menjadi golongan elit (=ilustrado).
Sejarawan John Bastin dan Harry Benda dalam A History of Modern Southeast Asia edisi dua menjelaskan, setiap pria dewasa di Kepulauan Filipina diwajibkan menyerahkan upeti tahunan kepada encomenderos dan agen-agennya dalam bentuk natura ataupun tenaga kerja. Para encemendero kerap bersikap brutal, meminta barang-barang komoditas langka yang nantinya akan dijual kembali. Walaupun pada tahun 1721 Raja menyatakan bahwa encomienda yang ditutup dapat berdiri kembali, ini tidak ada artinya bagi rakyat Filipina karena hingga akhir pemerintahan Spanyol mereka harus membayar upeti. Dampak dari sistem yang dijalankan oleh Spanyol ini mengakibatkan adanya buruh-buruh imigran di Filipina dan dimana modernisasi di bidang ekonomi telah ada sejak berlangsungnya pemerintahan Spanyol.
Upeti beroperasi melalui principalia (kelas kepala suku) yang dibebaskan dari tanggungan. Kerjasama dengan Spanyol membuat kepala suku dapat tetap mempertahankan posisinya dalam barangay (masyarakat) dengan gelar cabeza de barangay yang memimpin sekitar 40 hingga 50 keluarga. Tugas cabeza adalah menjaga keamanan dan ketertiban, mengumpulkan pajak dan menugaskan para pria yang menjadi konstituennya memenuhi polo y servicios (sistem kerja wajib). Namun, di tahun 1721, tahta Spanyol kembali memperluas encomiendas hingga akhir kekuasaan Spanyol menyusul perang dengan Amerika Serikat yang mengakibatkan Kuba, Puerto Riko, dan Filipina lepas dari kekuasaan Madrid. Semasa pendudukan Inggris di Filipina (1762-1764) diupayakan diversifikasi tanaman dengan mendorong budidaya katun, gula, mulberry, teh, indigo (nila), dan rempah-rempah. Dikembangkan pula industri sutra dan goni di Filipina. Kembalinya kekuasaan Spanyol ditandai dengan upaya tanam paksa tembakau tahun 1782 di Ilocos, Nueva Ecija, dan Marinduque. Setiap keluarga Filipina diwajibkan menanam jumlah tertentu tembakau dilahan mereka.
Kebijakan itu menuai protes dari para rohaniawan Katolik pada akhir akhir abad ke-16 sehingga dilakukan perbaikan. Bangsa Spanyol menghadapi berbagai ancaman, bahkan di Luzon dan Visayas. Sejak 1696 hingga 1764 rakyat Spanyol yang merasa tertekan dan tertindas melakukan pemberontakan secara sporadis. Mereka memprotes komposisi upeti yang mencekik dan tuntutan pemenuhan tenaga kerja, kristenisasi dan penindasan terhadap agama tradisional serta beban untuk mendukung perang Spanyol. Kendati diarahkan pada para encomendero, pemberontak juga menyerang para rahib dan gereja. Protes terhadap pemeritahan Spanyol juga datang dari para pendatang Cina. Mereka berperan sebagai penghubung antara daratan utama Cina dengan Filipina Spanyol, memperdagangkan barang-barang seperti sutera, bahan makanan dan logam. Kedatangan orang Cina di Filipina ini justru membuat Spanyol khawatir. Pemerintah kolonial menetapkan kuota imigran dari Cina dan menarik pajak dari mereka yang menetap. Mereka diperbolehkan meninggalkan permukiman hanya bila mendapat persetujuan formal.
Ketika pemerintahan Spanyol, golongan sosial di Filipina terbagi dalam dua golongan yaitu orang-orang atasan dan rakyat jelata. Orang atasan terdiri dari datu dan maharlika, tuan-tuan tanah, guru-guru serta pegawai tempatan. Golongan atasan memiliki segala kelebihan untuk menjawat, jawatan awam dalam negeri Filipina. Ketika menjalankan tanggung jawab mereka sebagai buruh dan petani. Mereka hanya mendapat sedikit keistimewaan. Mereka tidak boleh dilantik sebagai gobernadorcillo (pegawai pentadbir bandaran), juez (hakim), atau cabeza de barangay (laftenan luar Bandar).
Bukan hanya di Filipina yang merasakan bagaimana kehidupan para buruh yang menderita. Di Indonesia pun pada zaman kolonialisme merasakan hal serupa. Pribumi di wajibkan menanam tanaman ekspor dengan ketentuan-ketentuan yang diberlakukan oleh kolonial. Segala bentuk kerugian yang diakibatkan karena gagalnya panen maupun kerusakan tanaman dibebankan kepada buruh. Kehidupan mereka jauh dari kata layak, mereka tidak digaji bahkan dipaksa bekerja. Akibatnya, pribumi dirugikan dan sangat menderita. Kaum buruh yang merasa tertindas, melakukan pemberontakan yang terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama di pimpin oleh Jose Rizal dengan tuntutan agar bangsa Filipina mendapatkan hak yang sama dengan Spanyol dan rakyat Filipina mendapat kebebasan untuk bersuara. Pada tahap kedua, pemberontakan diteruskan dengan penubuhan parti katipunan oleh Andres Bonifacio, bersifat lebih radikal.
Sistem Pengiriman Buruh Migran di Filipina Lebih Baik Dibandingkan Indonesia Buruh zaman kolonialisme dan zaman modern tentu sangat berbeda. Buruh yang notabene pekerja kasar, zaman kolonial dipekerjakan di perkebunan untuk kepentingan pihak asing. Para pemimpin daerah saat itu yang seharusnya melindungi, ikut merekrut rakyatnya demi legitimasi kekuasaannya. Membahas mengenai pengiriman buruh migran antara Filipina dengan Indonesia, Indonesia harus mengakui kekurangannya. Selama ini, sistem pengiriman Buruh Migran Indonesia (BMI) masih menjadi lahan usaha bagi Pelaksana Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Peran pemerintah masih sangat minim dalam proses pendampingan pengiriman BMI ke negara penempatan. Semua itu terjadi, salah satunya karena di Indonesia masih terdapat pembedaan profesionalitas pekerjaan. BMI yang sebagian besar bekerja di sektor Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT), masih dianggap bukan sebagai pekerjaan yang profesional. Oleh karena itu, profesi PLRT disebut juga sebagai pekerja domestik. Alih-alih untuk perlindungan yang lebih baik, pembedaan profesionalitas pekerjaan tersebut justru membuat BMI terdiskriminasi.
Sedangkan Pemerintah Filipina sudah tidak lagi membeda-bedakan jenis profesionalitas pekerjaan. Proses seleksi registrasi atau akreditasi untuk tenaga kerja juga dilakukan langsung oleh pemerintah. Proses ini disebut dengan Pre Employment Service Office (PESO). Sedangkan agen hanya bertugas untuk merekrut saja, pengurusan segala macam dokumen dilakukan oleh Philippine Overseas Employment Administration (POEA). Pengiriman buruh migran Filipina ke negara penempatan juga berdasarkan atas perjanjian penempatan tenaga kerja antara Pemerintah Filipina, dengan pemerintah negara tujuan penempatan. Apabila perjanjian belum diadakan, maka dengan tegas Pemerintah Filipina melarang warganya untuk bekerja di negara yang belum ada perjanjiannya. Bahkan, ada menu khusus yang mengatur tentang pengawasan terhadap agen pengirim tenaga kerja.
KESIMPULAN
Pada dasarnya kawasan Asia Tenggara merupakan wilayah yang sangat empuk bagi bangsa Eropa untuk menanamkan pengaruhnya. Kawasan ini sangat strategis dan menguntungkan. Hampir semua negara di Asia Tenggara pernah dijajah, kecuali Thailand. Perbedaan karakter penjajah di setiap negara mengakibatkan sistem yang diterapkan berbeda pula. Jika di Indonesia, Belanda menerapkan sistem tanam paksanya. Lain lagi dengan Spanyol di Filipina yang menerapkan sistem encomienda. Kondisi perekonomian Filipina saat ini, mengalami pertumbuhan ekonomi moderat, yang banyak disumbangkan dari pengiriman uang oleh pekerja-pekerja Filipina di luar negeri dan sektor teknologi informasi yang sedang tumbuh pesat. Dengan bermulanya pentadbiran Spanyol dalam politik Filipina, telah berlaku satu perubahan yang terlihat dalam sistem yang digunakan dalam politik Filipina sendiri. Pentadbiran pada peringkat tempatan dilaksanakan melalui sistem encomienda. Barangay disatukan menjadi encomienda dan berada dibawah pentadbiran seorang encomiendero. Hal ini mengakibatkan merosotnya sistem pemerintahan tradisional dan pengaruh golongan datu.
Kaum buruh yang berasal dari orang-orang pribumi sudah ada sejak zaman kolonial. Mereka di pekerjakan di perkebunan-perkebunan tebu, dipaksa menanam barang ekspor, dan kebrutalan bangsa kolonial sangat terlihat dari sistem pemungutan upeti dan pajak yang sewenang-wenang yang dibebankan kepada kaum buruh. Konsep encomienda telah menyebabkan orang-orang Filipina dijual sebagai hamba, digantung dan wanita hidup tertindas. Kondisi kaum buruh saat itu sangat tidak diperhatikan, diperlakukan dengan kasar bahkan dibunuh. Encomendero yang memungut upeti mengambil untung yang banyak untuk diri mereka sendiri. Jurang ekonomi masyarakat sangat jelas terlihat antara encomendero dan buruh. Kehidupan ekonomi masyarakat Filipina tidak seimbang. Masyarakat yang tertindas dan hidup menderita hidup dalam pondok-pondok yang penuh sesak. Mereka hanya memiliki harta atau barang yang sedikit dan hanya memerlukan keperluan yang serba ringkas karena kemiskinan mereka. Kondisi buruh Filipina saat ini lebih baik dibanding Indonesia. Pengiriman buruh migran di Filipina dilakukan langsung oleh pemerintah. Sedangkan agen hanya bertugas merekrut. Pengiriman buruh migran ke negara penempatan dan hak-hak buruh migrant disepakati berdasarkan perjanjian kerja kedua negara dengan tujuan untuk keamanan dan kesejahteraan buruh itu sendiri. Perlindungan tenaga kerja dalam kontrak kerja jauh lebih tegas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar