Rabu, 14 Oktober 2015

APAKAH FILSAFAT?


Seseorang yang berfilsafat dapat diumpamankan sebagai seorang yang berpijak di bumi dan menengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakekat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seseorang, yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendrii. Dia ingin melihat hakekat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral dan kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
Sering kita menemukan ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah ahli ilmu sosial. Lulusan jurusan IPA merasa lebih tinggi daripada lulusan jurusan IPS. Atau lebih sedih lagi, seorang ilmuwan meremehkan pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral, agama dan estetika. Mereka, para ahli yang berada di bawah tempurung disiplin keilmuannya masing-masing, sebaiknya menengadah ke bintang-bintang dan tercengang: Lho, kok masih ada langit yang lain di luar tempurung kita?! Dan kita pun lalu berang akan kebodohan kita. Tujuan berpikir secara kefilsafatan memang memancing keberangan tersebut, namun bukan berang kepada orang lain, melainkan berang terhadap diri sendiri dan bertentangan rasa terhadap orang lain. Yang saya ketahui simpul Socrates, ialah bahwa saya tidak tahu apa-apa.
Kerendahan hati Socrates ini bukan verbalisme yang sekedar basa-basi. Seorang yang berpikir filsafati selain menengadah ke bintang-bintang juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah ciri berpikir filsafat yang kedua, yakni sifat mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Apakah kriterianya? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu "benar" itu sendri apa artinya? Seperti sebuah lingkaran, maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusuri sebuah lingkaran, kita harus mulai dari suatu titik, yang merupakan titik awal dan sekaligus titik akhir. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar?
"Ah, Horatio," desis Hamlet, "masih banyak lagi di langit dan di bumi, selain yang terjaring dalam filsafatmu" memang demikian, secara terus terang tidak mungkin kita menangguk pengetahuan secara keseluruhan dan bahkan kita tidak yakin akan titik awal menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Dalam hal ini kita hanya berspekulasi, dan inilah yang merupakan ciri filsafat yang ketiga, yakni sifat spekulatif.
Kita mulai mengernyitkan kening dan timbul kecurigaan terhadap filsafat: bukankah spekulasi ini suatu dasar yang tidak bisa diandalkan? Dan seorang filsuf akan menjawab: "Memang, namun hal ini tidak bisa dihindarkan". Menyusuri sebuah lingkungan kita harus mulai dari sebuah titik, bagaimanapun juga spekulatifnya. Yang penting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun pembuktiannya, kita bisa memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan. Apakah yang disebut logis? Apakah yang disebut benar? Apakah yang disebut sahih? Apakah alam ini teratur atau kacau? Apakah hidup ini ada tujuannya atau absurd? Apakah hukum yang mengatur alam dan segenap kehidupan?
Sekarang kita sadar bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada dimulai dengan spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang di atas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk, tidak mungkin kita berbicara tentang moral. Demikian juga tanpa wawasan tentang apa yang disebut indah atau jelek, tidak mungkin kita berbicara tentang kesenian.
Filsafat, meminjam pikiran Will Darunt, dapat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infantri ini adalah berbagai pengetahuan yang di antaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, yang dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan maka filsafatpun pergi. Dia kembali menjelajah laut lepas, berspekulasi dan meneratas.
Seorang yang skeptis akan berkata: " Sudah lebih dari dua ribu tahun orang berfilsafat namun selangkah pun dia tidak maju". Sepintas lalu kelihatannya memang demikian, dan kesalahpahaman ini dapat segera dihilangkan, sekiranya kita sadar bahwa filsafat adalah marinir yang merupakan pioner, bukan pengetahuan yang bersifat memerinci.
Filsafat menyerahkan daerah yang sudah dimenangkannya kepada pengetahuan-pengetahuan lainnya. Semua ilmu, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, ditilik dari pengembangannya bermula sebagai filsafat. Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisikanya sebagai Philosaphiae Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) bapak ilmu ekonomi menulis buku The Wealth on Nations (1776) dalam fungsinya sebagai Profesor of Moral Philosophy di University of Glasgow. Namun asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy).
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini maka bidang penjelajahan filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Di sini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan, melainkan mengkaitkannya dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kemudian berkembang menjadi ilmu sosial ekonomi. Walaupun demikian, dalam taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan diri pada norma-norma filsafat.
Umpamanya ekonomi masih merupakan penerapan etika (applied ethics) dalam kegiatan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Metode yang dipakai adalah normatif dan deduktif berdasarkan asas-asas moral yang filsafati. Pada tahap selanjutnya ilmu menyatakan dirinya otonom dari konsep-konsep filsafat dan bertumpu sepenuhnya pada hakekat alam sebagaimana adanya. Pada tahap peralihan ilmu masih mendasarkan diri pada norma yang seharusnya, sedangkan dalam tahap terakhir ini, ilmu didasarkan pada penemuan ilmiah saja adanya. Dalam menyusun pengetahuan tentang alam dan isinya ini maka manusia tidak lagi mempergunakan metode yang bersifat normatif dan deduktif, melainkan kombinasi antara deduktif dan induktif dengan jembatan yang berupa pengajuan hipotesis dan dikenal sebagai metode deducto-hypotetico- verifikatif. "Tiap ilmu dimulai dengan filsafat dan berakhir sebagai seni" ujar Will Durant, "(Ia) muncul dalam hipotesis dan berkembang ke keberhasilan" Auguste Comte (1798-1857) membagi tiga tingkat perkembangan pengetahuan tersebut di atas ke dalam tahap religius, metafisik dan positif.
Dalam tahapan pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah, sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi. Dalam tahap kedua orang mulai berspekulasi tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi obyek penelaahan yang terbebas dari dogma religi, dan mengembangkan sistem pengetahuan berdasarkan postulat metafisik tersebut. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah: asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif .

Apakah sebenarnya yang ditelaah filsafat?
Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pioner dia mempermasalahkan hal-hal yang pokok; terjawab masalah yang satu, dia pun mulai merambah pertanyaan lain. Tentu saja tiap kurun waktu mempunyai masalah yang merupakan mode pada zaman itu. Filsafat yang sedang pop dewasa ini mungkin mengenai UFO dan apakah cuma satu-satunya "manusia" yang menghuni semesta ini. Bacalah buku Carl Sagan yang berjudul The Cosmic Connection sebagai hiburan di waktu senggang setelah membaca buku filsafat ini. Kini selaras dengan usaha peningkatan kemampuan penalaran maka filsafat ilmu menjadi "ngetop". Sepuluh tahun yang akan datang yang akan menjadi perhatian kemungkinan besar bukan lagi filsafat ilmu, melainkan filsafat moral yang akan dikaitkan dengan ilmu.
Seorang profesor yang penuh humor menghampiri permasalahan yang dikaji filsafat dengan sajak di bawah ini:
What is a man?
What is?
What?
Maksudnya adalah bahwa pada tahap yang mula sekali filsafat mempersoalkan siapakah manusia itu: What is a man? Hallo, siapa kau? Tahap ini dapat dihubungkan dengan segenap pemikiran ahli-ahli filsafat sejak zaman Yunani Kuno sampai sekarang, yang rupa-rupanya tak kunjung usai mempermasalahkan mahluk yang satu ini. Terkadang kurang disadari bahwa setiap ilmu, terutama ilmu-ilmu sosial, mempunyai asumsi tertentu tentang manusia yang menjadi pelaku utama dalam kajian keilmuannya. Mungkin ada baiknya kita megambil contoh yang agak berdekatan dari ilmu ekonomi dan manajemen. Kedua ilmu ini mempunyai asumsi tentang manusia yang berbeda. Ilmu ekonomi mempunyai asumsi bahwa manusia adalah mahluk ekonomi yang bertujuan mencari kenikmatan sebesar-besarnya dan menjauhi ketidaknyamanan sebisa mungkin. Dia adalah mahluk hedonis yang serakah, atau dalam proposisi ilmiah: mendapat keuntungan sebesar- besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Sedang ilmu manajemen mempunyai asumsi lain tentang manusia sebab bidang telaah ilmu manajemen lain dari bidang telaah ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi menelaah hubungan manusia dengan benda/ jasa yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, sedang manajemen bertujuan menelaah kerjasama antara sesama manusia dalam mencapai suatu tujuan yang disetujui bersama. Cocokkah asumsi bahwa manusia adalah Homo economicus bagi manajemen yang tujuannya menelaah kerjasama antar manusia? Apakah motif ekonomis yang mendorong seseorang untuk ikut menjadi sekarelawan memberantas kemiskinan dan kebodohan? Tentu saja tidak, bukan? Untuk itu manajemen mempunyai beberapa asumsi tentang manusia, tergantung dari perkembangan dan lingkungan masing-masing, seperti mahluk ekonomi, mahluk sosial dan mahluk aktualisasi diri. Mengkaji permasalahan manajemen dengan asumsi manusia dalam kegiatan ekonomi akan menyebabkan kekacauan dalam analisis yang bersifat akademik. Demikian pula mengkaji permasalahan ekonomi dengan asumsi manusia yang lain di luar mahluk ekonomi (katankanlah mahluk sosial seperti asumsi dalam manajemen), akan menjadikan ilmu ekonomi menjadi moral terapan, mundur sekian ratus tahun ke abad pertengahan. Sayang, bukan? The rught (assumption of) man on the right place, mungkin kalimat ini yang harus kita gantung di tiap pintu masing-masing disiplin keilmuan.
Tahap yang kedua adalah pertanyaan yang berkisar tentang ada, tentang hidup dan eksistensi manusia. What is life anyway, man what is it? Bagaimana: manis atau pahit? Apakah hidup ini ada tujuannya ataukah absurd? Dan hidup sekedar acak dan berupa peluang: Nah, lu, dadu tiga: kau balak lima: kau si pandir goblok, kau IQ-mu 185! Itukah, kita percaya kepada suatu tujuan yang mulia: menjalin gejala fisik, merangkai fakta dunia?
"Barangkali terkandung suatu maksud", kata Broder Juniper dalam sastra klasik The Bridge of San Luis Pay yang termasyhur, ketika dua abad berselang jembatan yang paling indah di seluruh Peru itu ambruk dan melemparkan lima orang ke jurang yang dalam. "Adalah sangat sukar untuk mengetahui kehendak tuhan" kata dia, namun tidaklah berarti bahwa hal ini tidak akan pernah bisa kita ketahui, dan mengatakan bahwa Tuhan terhadap kita adalah bagaikan lalat yang dibunuh kanak-kanak pada suatu hari di musim panas.
"Ah, spekulasi macam begini hanya omong kosong percuma yang buang waktu saja", mungkin seorang ilmuwan berkata, "sama sekali tidak ada hubungannya dengan permasalahan keilmuan saya" (Dikiranya ilmu itu rumus-rumus, laboratorium, itu saja!). dan ketika laboratorium riset genetika menghasilkan penemuan yang menyangkut hari depan manusia apakah dia cuma akan mengangkat bahu. Mengapa ribut-ribut? Bikin saja semua manusia IQ-nya 250 secara masal. Habis perkara! (Ilmuwan macam begini bukan saja picik, tetapi juga berbahaya: dia tidak tahu ditidaktahunya). Namun pun jika kita ingin menggumuli permasalahan semacam itu; tentang genetika, social engineering, atau bayi tabung; maka asasnya belum terdapat dalam lingkup teori-teori keilmuan. Kita harus berpaling kepada filsafat, memilih-milih landasan moral, apakah sesuatu kegiatan kailmuan secara etis dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Tahap yang ketiga, skenarionya bermula pada suatu pertemuan ilmiah tingkat "tinggi". Dalam pertemuan itu seorang ilmuwan berbicara panjang lebar tentang suatu penemuan dalam risetnya. Setelah berjam- jam dia berbicara maka dia pun menyeka keringatnya dan bertanya: "Adakah kiranya yang belum jelas?" seorang hadirin bangkit dan seperti seorang yang pekak memasang kedua belah tangan di samping kupingnya: seraya katanya "apa?" (Rupanya sejak tadi dia tidak mendengar apa-apa).
Memang, orang itu sejak tadi "tidak mendengar apa-apa", sebab "ia tidak tertarik untuk mendengarkan apa-apa" sebab "tidak ada apa-apa yang berharga untuk didengarnya". Orang nyentrik itu baru mau dengar pendapat yang bersifat ilmiah bila pendapat itu dikemukakan lewat acara/proses/prosedur ilmiah. Biarpun seorang pembicara mengutip pendapat sekian pemenang hadiah nobel dan mengemukakan sekian fakta yang aktual, namun jika bagi dia tidak jelas yang mana masalah, yang mana hipotesis, yang mana kerangka pemikiran, yang mana kesimpulan, yang keseluruhannya terkait dan tersusun dalam penalaran ilmiah, bagi dia semua itu sekedar GIGO (maksudnya masuk lewat telingan kiri G dan keluar dari telingan kanan juga G). Tugas utama filsafat, kata Wittgenstein, bukanlah menghasilkan sesuatu pernyataan filsafat, malainkan menyatakan sebuah pernyataan sejelas mungkin dengan demikian maka epistemologi dan bahasa merupakan gumulan utama para filsuf dalam tahap ini. Bahasa termasuk matematika yang secara filsafati bukan merupakan ilmu, melainkan suatu bahasa nonverbal yang merupakan pokok pengkajian filsafat abad keduapuluh ini.
Institut teknologi yang termasyhur di dunia, yakni Massachussets Institute of Technology (MIT), mempunyai departemen linguistik yang sangat bagus. Sekiranya masih ada ahli teknologi yang memandang rendah bahasa, maka orang itu telah sangat ketinggalan zaman. Semoga ilmuwan ini tidak ketemu dengan orang pekak yang sangat menjengkelkan
itu, yang tanpa timbang rasa melemparkan segerobak pendapat kita ke tempat pembuangan sampah.
"Masalah utama dengan disertasi saudara," kata seorang penguji kepada seorang promovedus," ialah bahwa saudara berlaku sebagai seorang pemborong bahan bangunan dan bukan sebagai arsitek yang membangun rumah. Memang batanya banyak sekali, bertumpuk di sana sini, namun tidak merupakan dinding; kayunya numpuk sekian meter kubik namun tidak merupakan atap. Sebagai ilmuwan saudara harus membangun kerangka dengan bahan-bahan tersebut, kerangka pemikiran yang asli dan meyakinkan, disemen oleh penalaran dan pembuktian yang tidak meragukan         "
"Ah, daripada disebut pemborong bahan bangunan, labih baik capai sedikit belajar lagi", bisik seorang peneliti yang sedang mempersiapkan disertasinya. Memang, lebih baik mengasah parang, daripada sekian ratus halaman dari disertasi kita dibuang orang. (Maaf, parang itu maksudnya untuk memberantas ilalang, bukan menebas orang!).
Pokok permasalahan yang dikaji filsafat pada pokoknya mencakup tiga segi, yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (epistemologi), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang utama filsafat ini kemudian bertambah dua lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang hakekat keberadaan zat, tentang hakekat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; dan, kedua politik: yakni kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan yang ideal. Kelima cabang utama ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik, di antaranya filsafat ilmu. Cabang-cabang filsafat yang sekarang dikenal sebagai bidang yang mempunyai kajian formal pada pokoknya terdiri dari:
(1)              Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)
(2)              Etika (Filsafat Moral)
(3)              Estetika (Filsafat Seni)
(4)              Metafisika
(5)              Politik (Filsafat Pemerintahan)
(6)              Filsafat Agama
(7)              Filsafat Pendidikan
(8)              Filsafat Ilmu
(9)              Filsafat Hukum
(10)           Filsafat Sejarah
(11)           Filsafat Matematika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar