Seseorang
yang berfilsafat dapat diumpamankan sebagai seorang yang berpijak di bumi dan
menengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakekat dirinya dalam
kesemestaan galaksi. Atau seseorang, yang berdiri di puncak tinggi, memandang
ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan
kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama
adalah sifat
menyeluruh.
Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu
sendrii. Dia ingin melihat hakekat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang
lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral dan kaitan ilmu dengan agama.
Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
Sering
kita menemukan ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah ahli
ilmu sosial. Lulusan jurusan IPA merasa lebih tinggi daripada lulusan jurusan
IPS. Atau lebih sedih lagi, seorang ilmuwan meremehkan pengetahuan lain. Mereka
meremehkan moral, agama dan estetika. Mereka, para ahli yang berada di bawah
tempurung disiplin keilmuannya masing-masing, sebaiknya menengadah ke
bintang-bintang dan tercengang: Lho, kok masih ada langit yang lain di luar
tempurung kita?! Dan kita pun lalu berang akan kebodohan kita. Tujuan berpikir
secara kefilsafatan memang memancing keberangan tersebut, namun bukan berang
kepada orang lain, melainkan berang terhadap diri sendiri dan bertentangan rasa
terhadap orang lain. Yang saya ketahui simpul Socrates, ialah bahwa saya tidak
tahu apa-apa.
Kerendahan
hati Socrates ini bukan verbalisme yang sekedar basa-basi. Seorang yang
berpikir filsafati selain menengadah ke bintang-bintang juga membongkar tempat
berpijak secara fundamental. Inilah ciri berpikir filsafat yang kedua, yakni
sifat mendasar.
Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat
disebut benar? Apakah kriterianya? Bagaimana proses penilaian berdasarkan
kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu
"benar" itu sendri apa artinya? Seperti sebuah lingkaran, maka
pertanyaan itu melingkar. Dan menyusuri sebuah lingkaran, kita harus mulai dari
suatu titik, yang merupakan titik awal dan sekaligus titik akhir. Lalu
bagaimana menentukan titik awal yang benar?
"Ah,
Horatio," desis Hamlet, "masih banyak lagi di langit dan di bumi,
selain yang terjaring dalam filsafatmu" memang demikian, secara terus
terang tidak mungkin kita menangguk pengetahuan secara keseluruhan dan bahkan
kita tidak yakin akan titik awal menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Dalam
hal ini kita hanya berspekulasi, dan inilah yang merupakan ciri filsafat yang
ketiga, yakni
sifat
spekulatif.
Kita
mulai mengernyitkan kening dan timbul kecurigaan terhadap filsafat: bukankah
spekulasi ini suatu dasar yang tidak bisa diandalkan? Dan seorang filsuf akan
menjawab: "Memang, namun hal ini tidak bisa dihindarkan". Menyusuri
sebuah lingkungan kita harus mulai dari sebuah titik, bagaimanapun juga
spekulatifnya. Yang penting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis
maupun pembuktiannya, kita bisa memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan
dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar
yang dapat diandalkan. Apakah yang disebut logis? Apakah yang disebut benar?
Apakah yang disebut sahih? Apakah alam ini teratur atau kacau? Apakah hidup ini
ada tujuannya atau absurd? Apakah hukum yang mengatur alam dan segenap
kehidupan?
Sekarang
kita sadar bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada dimulai dengan spekulasi.
Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat
diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa
menetapkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa
menetapkan kriteria tentang apa yang disebut benar maka tidak mungkin
pengetahuan lain berkembang di atas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang
disebut baik atau buruk, tidak mungkin kita berbicara tentang moral. Demikian
juga tanpa wawasan tentang apa yang disebut indah atau jelek, tidak mungkin
kita berbicara tentang kesenian.
Filsafat,
meminjam pikiran Will Darunt, dapat diibaratkan pasukan marinir yang merebut
pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infantri ini adalah berbagai
pengetahuan yang di antaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat
berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu ilmulah yang membelah gunung dan
merambah hutan, yang dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan maka
filsafatpun pergi. Dia kembali menjelajah laut lepas, berspekulasi dan
meneratas.
Seorang
yang skeptis akan berkata: " Sudah lebih dari dua ribu tahun orang
berfilsafat namun selangkah pun dia tidak maju". Sepintas lalu
kelihatannya memang demikian, dan kesalahpahaman ini dapat segera dihilangkan,
sekiranya kita sadar bahwa filsafat adalah marinir yang merupakan pioner, bukan
pengetahuan yang bersifat memerinci.
Filsafat
menyerahkan daerah yang sudah dimenangkannya kepada pengetahuan-pengetahuan
lainnya. Semua ilmu, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, ditilik dari
pengembangannya bermula sebagai filsafat. Issac Newton (1642-1627) menulis
hukum-hukum fisikanya sebagai
Philosaphiae Naturalis Principia Mathematica
(1686) dan Adam Smith
(1723-1790) bapak ilmu ekonomi menulis buku
The Wealth on Nations
(1776) dalam fungsinya sebagai Profesor of Moral Philosophy di University
of Glasgow. Namun asal fisika adalah filsafat alam
(natural philosophy)
dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral
(moral philosophy).
Dalam
perkembangan filsafat menjadi ilmu terdapat taraf peralihan. Dalam taraf
peralihan ini maka bidang penjelajahan filsafat menjadi lebih sempit, tidak
lagi menyeluruh melainkan sektoral. Di sini orang tidak lagi mempermasalahkan
moral secara keseluruhan, melainkan mengkaitkannya dengan kegiatan manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kemudian berkembang menjadi ilmu sosial
ekonomi. Walaupun demikian, dalam taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan
diri pada norma-norma filsafat.
Umpamanya
ekonomi masih merupakan penerapan etika
(applied ethics)
dalam kegiatan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Metode yang dipakai adalah
normatif dan deduktif
berdasarkan asas-asas moral yang
filsafati.
Pada tahap selanjutnya ilmu menyatakan dirinya otonom dari konsep-konsep
filsafat dan bertumpu sepenuhnya pada hakekat alam sebagaimana adanya. Pada
tahap peralihan ilmu masih mendasarkan diri pada norma yang seharusnya,
sedangkan dalam tahap terakhir ini, ilmu didasarkan pada penemuan ilmiah saja
adanya. Dalam menyusun pengetahuan tentang alam dan isinya ini maka manusia
tidak lagi mempergunakan metode yang bersifat normatif dan deduktif, melainkan
kombinasi antara deduktif dan induktif dengan jembatan yang berupa pengajuan
hipotesis dan dikenal sebagai metode
deducto-hypotetico- verifikatif.
"Tiap ilmu dimulai dengan filsafat dan berakhir sebagai seni" ujar
Will Durant, "(Ia) muncul dalam hipotesis dan berkembang ke
keberhasilan" Auguste Comte (1798-1857) membagi tiga tingkat perkembangan
pengetahuan tersebut di atas ke dalam tahap religius, metafisik dan positif.
Dalam
tahapan pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah, sehingga
ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi. Dalam tahap kedua
orang mulai berspekulasi tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi
obyek penelaahan yang terbebas dari dogma religi, dan mengembangkan sistem
pengetahuan berdasarkan postulat metafisik tersebut. Sedangkan tahap ketiga
adalah tahap pengetahuan ilmiah: asas-asas yang dipergunakan diuji secara
positif dalam proses verifikasi yang obyektif .
Apakah
sebenarnya yang ditelaah filsafat?
Selaras
dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin
dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pioner dia
mempermasalahkan hal-hal yang pokok; terjawab masalah yang satu, dia pun mulai
merambah pertanyaan lain. Tentu saja tiap kurun waktu mempunyai masalah yang
merupakan mode pada zaman itu. Filsafat yang sedang pop dewasa ini mungkin
mengenai UFO dan apakah cuma satu-satunya "manusia" yang menghuni
semesta ini. Bacalah buku Carl Sagan yang berjudul
The Cosmic
Connection
sebagai hiburan di waktu senggang setelah membaca buku filsafat ini. Kini
selaras dengan usaha peningkatan kemampuan penalaran maka filsafat ilmu menjadi
"ngetop". Sepuluh tahun yang akan datang yang akan menjadi perhatian
kemungkinan besar bukan lagi filsafat ilmu, melainkan filsafat moral yang akan
dikaitkan dengan ilmu.
Seorang
profesor yang penuh humor menghampiri permasalahan yang dikaji filsafat dengan
sajak di bawah ini:
What is a
man?
What is?
What?
Maksudnya
adalah bahwa pada tahap yang mula sekali filsafat mempersoalkan siapakah
manusia itu: What is a man? Hallo, siapa kau? Tahap ini dapat dihubungkan
dengan segenap pemikiran ahli-ahli filsafat sejak zaman Yunani Kuno sampai
sekarang, yang rupa-rupanya tak kunjung usai mempermasalahkan mahluk yang satu
ini. Terkadang kurang disadari bahwa setiap ilmu, terutama ilmu-ilmu sosial,
mempunyai asumsi tertentu tentang manusia yang menjadi pelaku utama dalam
kajian keilmuannya. Mungkin ada baiknya kita megambil contoh yang agak berdekatan
dari ilmu ekonomi dan manajemen. Kedua ilmu ini mempunyai asumsi tentang
manusia yang berbeda. Ilmu ekonomi mempunyai asumsi bahwa manusia adalah mahluk
ekonomi yang bertujuan mencari kenikmatan sebesar-besarnya dan menjauhi
ketidaknyamanan sebisa mungkin. Dia adalah mahluk hedonis yang serakah, atau
dalam proposisi ilmiah: mendapat keuntungan sebesar- besarnya dengan
pengorbanan sekecil-kecilnya. Sedang ilmu manajemen mempunyai asumsi lain
tentang manusia sebab bidang telaah ilmu manajemen lain dari bidang telaah ilmu
ekonomi. Ilmu ekonomi menelaah hubungan manusia dengan benda/ jasa yang dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya, sedang manajemen bertujuan menelaah kerjasama
antara sesama manusia dalam mencapai suatu tujuan yang disetujui bersama.
Cocokkah asumsi bahwa manusia adalah
Homo economicus
bagi manajemen yang tujuannya menelaah kerjasama antar manusia? Apakah motif
ekonomis yang mendorong seseorang untuk ikut menjadi sekarelawan memberantas
kemiskinan dan kebodohan? Tentu saja tidak, bukan? Untuk itu manajemen
mempunyai beberapa asumsi tentang manusia, tergantung dari perkembangan dan
lingkungan masing-masing, seperti mahluk ekonomi, mahluk sosial dan mahluk
aktualisasi diri. Mengkaji permasalahan manajemen dengan asumsi manusia dalam
kegiatan ekonomi akan menyebabkan kekacauan dalam analisis yang bersifat
akademik. Demikian pula mengkaji permasalahan ekonomi dengan asumsi manusia
yang lain di luar mahluk ekonomi (katankanlah mahluk sosial seperti asumsi
dalam manajemen), akan menjadikan ilmu ekonomi menjadi moral terapan, mundur
sekian ratus tahun ke abad pertengahan.
Sayang, bukan?
The rught (assumption of) man on the right
place,
mungkin kalimat ini yang harus kita gantung di tiap pintu masing-masing
disiplin keilmuan.
Tahap
yang kedua adalah pertanyaan yang berkisar tentang ada, tentang hidup dan
eksistensi manusia. What is life anyway, man what is it? Bagaimana: manis atau
pahit? Apakah hidup ini ada tujuannya ataukah absurd? Dan hidup sekedar acak
dan berupa peluang: Nah, lu, dadu tiga: kau balak lima: kau si pandir goblok,
kau IQ-mu 185! Itukah, kita percaya kepada suatu tujuan yang mulia: menjalin
gejala fisik, merangkai fakta dunia?
"Barangkali
terkandung suatu maksud", kata Broder Juniper dalam sastra klasik
The Bridge of San Luis Pay
yang termasyhur, ketika dua abad berselang jembatan yang paling indah di
seluruh Peru itu ambruk dan melemparkan lima orang ke jurang yang dalam.
"Adalah sangat sukar untuk mengetahui kehendak tuhan" kata dia, namun
tidaklah berarti bahwa hal ini tidak akan pernah bisa kita ketahui, dan
mengatakan bahwa Tuhan terhadap kita adalah bagaikan lalat yang dibunuh
kanak-kanak pada suatu hari di musim panas.
"Ah,
spekulasi macam begini hanya omong kosong percuma yang buang waktu saja",
mungkin seorang ilmuwan berkata, "sama sekali tidak ada hubungannya dengan
permasalahan keilmuan saya" (Dikiranya ilmu itu rumus-rumus, laboratorium,
itu saja!). dan ketika laboratorium riset genetika menghasilkan penemuan yang
menyangkut hari depan manusia apakah dia cuma akan mengangkat bahu. Mengapa
ribut-ribut? Bikin saja semua manusia IQ-nya 250 secara masal. Habis perkara!
(Ilmuwan macam begini bukan saja picik, tetapi juga berbahaya: dia tidak tahu
ditidaktahunya). Namun pun jika kita ingin
menggumuli permasalahan semacam itu; tentang genetika,
social engineering,
atau bayi tabung; maka asasnya belum terdapat dalam lingkup teori-teori
keilmuan. Kita harus berpaling kepada filsafat, memilih-milih landasan moral,
apakah sesuatu kegiatan kailmuan secara etis dapat dipertanggungjawabkan atau
tidak.
Tahap
yang ketiga, skenarionya bermula pada suatu pertemuan ilmiah tingkat
"tinggi". Dalam pertemuan itu seorang ilmuwan berbicara panjang lebar
tentang suatu penemuan dalam risetnya. Setelah berjam- jam dia berbicara maka
dia pun menyeka keringatnya dan bertanya: "Adakah kiranya yang belum
jelas?" seorang hadirin bangkit dan seperti seorang yang pekak memasang
kedua belah tangan di samping kupingnya: seraya katanya "apa?"
(Rupanya sejak tadi dia tidak mendengar apa-apa).
Memang,
orang itu sejak tadi "tidak mendengar apa-apa", sebab "ia tidak
tertarik untuk mendengarkan apa-apa" sebab "tidak ada apa-apa yang
berharga untuk didengarnya". Orang nyentrik itu baru mau dengar pendapat
yang bersifat ilmiah bila pendapat itu dikemukakan lewat acara/proses/prosedur
ilmiah. Biarpun seorang pembicara mengutip pendapat sekian pemenang hadiah
nobel dan mengemukakan sekian fakta yang aktual, namun jika bagi dia tidak
jelas yang mana masalah, yang mana hipotesis, yang mana kerangka pemikiran,
yang mana kesimpulan, yang keseluruhannya terkait dan tersusun dalam penalaran
ilmiah, bagi dia semua itu sekedar GIGO (maksudnya masuk lewat telingan kiri G
dan keluar dari telingan kanan juga G). Tugas utama filsafat, kata
Wittgenstein, bukanlah menghasilkan sesuatu pernyataan filsafat, malainkan
menyatakan sebuah pernyataan sejelas mungkin dengan demikian maka epistemologi
dan bahasa merupakan gumulan utama para filsuf dalam tahap ini. Bahasa termasuk
matematika yang secara filsafati bukan merupakan ilmu, melainkan suatu bahasa nonverbal
yang merupakan pokok pengkajian filsafat abad keduapuluh ini.
Institut
teknologi yang termasyhur di dunia, yakni Massachussets Institute of Technology
(MIT), mempunyai departemen linguistik yang sangat bagus. Sekiranya masih ada
ahli teknologi yang memandang rendah bahasa, maka orang itu telah sangat
ketinggalan zaman. Semoga ilmuwan ini tidak ketemu dengan orang pekak yang
sangat menjengkelkan
itu, yang tanpa timbang rasa melemparkan segerobak pendapat kita ke tempat pembuangan sampah.
itu, yang tanpa timbang rasa melemparkan segerobak pendapat kita ke tempat pembuangan sampah.
"Masalah
utama dengan disertasi saudara," kata seorang penguji kepada seorang
promovedus," ialah bahwa saudara berlaku sebagai seorang pemborong bahan
bangunan dan bukan sebagai arsitek yang membangun rumah. Memang batanya banyak
sekali, bertumpuk di sana sini, namun tidak merupakan dinding; kayunya numpuk
sekian meter kubik namun tidak merupakan atap. Sebagai ilmuwan saudara harus
membangun kerangka dengan bahan-bahan tersebut, kerangka pemikiran yang asli
dan meyakinkan, disemen oleh penalaran dan pembuktian yang tidak meragukan "
"Ah,
daripada disebut pemborong bahan bangunan, labih baik capai sedikit belajar
lagi", bisik seorang peneliti yang sedang mempersiapkan disertasinya.
Memang, lebih baik mengasah parang, daripada sekian ratus halaman dari
disertasi kita dibuang orang. (Maaf, parang itu maksudnya untuk memberantas
ilalang, bukan menebas orang!).
Pokok
permasalahan yang dikaji filsafat pada pokoknya mencakup tiga segi, yakni apa
yang disebut benar dan apa yang disebut salah
(epistemologi),
mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk
(etika),
serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek
(estetika).
Ketiga cabang utama filsafat ini kemudian bertambah dua lagi yakni, pertama,
teori tentang ada: tentang hakekat keberadaan zat, tentang hakekat pikiran
serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika;
dan, kedua
politik:
yakni kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan yang ideal. Kelima cabang
utama ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang
mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik, di antaranya filsafat ilmu.
Cabang-cabang filsafat yang sekarang dikenal sebagai bidang yang mempunyai
kajian formal pada pokoknya terdiri dari:
(1)
Epistemologi
(Filsafat Pengetahuan)
(2)
Etika
(Filsafat Moral)
(3)
Estetika
(Filsafat Seni)
(4)
Metafisika
(5)
Politik
(Filsafat Pemerintahan)
(6)
Filsafat
Agama
(7)
Filsafat
Pendidikan
(8)
Filsafat
Ilmu
(9)
Filsafat
Hukum
(10)
Filsafat
Sejarah
(11)
Filsafat
Matematika